Apakah Anda sudah memahami perubahan terbaru dalam perhitungan Pajak Penghasilan (PPh) Pasal 21 yang berlaku mulai tahun 2024? Perubahan ini tidak hanya mencakup skema tarif pajak yang lebih progresif, tetapi juga penerapan skema tarif efektif rata-rata (TER), yang mempengaruhi perhitungan penghasilan bruto hingga penghasilan kena pajak (PKP). Hal ini berdampak pada wajib pajak orang pribadi, baik karyawan maupun pemberi kerja.
PPh Pasal 21 adalah pajak atas penghasilan yang diterima oleh individu, seperti gaji, tunjangan, atau penghasilan dari pekerjaan tertentu. Pemotongan pajak ini diatur dalam Peraturan Menteri Keuangan dan didukung oleh ketentuan lain, seperti Pasal 17 UU PPh.
Regulasi terbaru juga menyoroti pentingnya status PTKP (Penghasilan Tidak Kena Pajak) dan komponen pengurang seperti biaya jabatan dan iuran pensiun dalam menentukan jumlah pajak terutang.
Artikel ini akan membahas secara lengkap perubahan terbaru, memberikan panduan langkah demi langkah, serta menyajikan contoh perhitungan yang sesuai untuk berbagai kondisi. Dengan memahami informasi ini, Anda dapat memastikan perhitungan pajak Anda akurat, menghindari kesalahan umum, dan memenuhi kewajiban perpajakan dengan lebih percaya diri.
PPh 21, atau Pajak Penghasilan Pasal 21, adalah pajak yang dikenakan atas penghasilan bruto yang diterima oleh wajib pajak orang pribadi dalam negeri. Pajak ini mencakup penghasilan sehubungan dengan pekerjaan, jabatan, jasa, atau kegiatan tertentu.
Biasanya, pajak ini dipotong langsung oleh pemberi kerja atau pihak lain yang memberikan penghasilan kepada individu. Setiap wajib pajak orang pribadi yang memiliki Nomor Pokok Wajib Pajak (NPWP) wajib memenuhi kewajiban ini sesuai peraturan yang berlaku.
Secara hukum, PPh Pasal 21 diatur dalam Undang-Undang Pajak Penghasilan (UU PPh) dan peraturan pelaksananya, termasuk Peraturan Menteri Keuangan serta Peraturan Direktur Jenderal Pajak. Ketentuan ini tidak hanya memastikan kepatuhan terhadap peraturan perpajakan, tetapi juga membantu pemerintah mengumpulkan pendapatan negara yang digunakan untuk mendanai berbagai program pembangunan.
Oleh karena itu, pemotongan pajak oleh pemberi kerja menjadi kewajiban utama yang harus dilakukan sesuai aturan. Berbagai jenis penghasilan dikenakan PPh Pasal 21, termasuk gaji, tunjangan (seperti bonus dan komisi), serta penghasilan sehubungan dengan pekerjaan jasa, seperti pembayaran untuk konsultan, pembicara, atau pelatih.
Selain itu, uang pensiun atau manfaat lainnya, termasuk iuran pensiun yang diterima oleh penerima manfaat, juga menjadi bagian dari objek pajak ini. Jenis penghasilan tersebut selanjutnya dihitung berdasarkan status PTKP untuk menentukan penghasilan kena pajak (PKP) yang menjadi dasar pengenaan tarif pajak. Dalam hal ini, penghitungan juga mempertimbangkan biaya jabatan dan komponen lain sesuai aturan Pasal 17 Ayat 1 UU PPh.
Regulasi perpajakan di Indonesia terus diperbarui untuk menciptakan sistem yang lebih sederhana dan adil, termasuk dalam Pajak Penghasilan Pasal 21 (PPh 21). Salah satu perubahan besar yang berlaku mulai 1 Januari 2024 adalah penerapan Tarif Efektif Rata-rata (TER), yang bertujuan menyederhanakan perhitungan dan pemotongan pajak bulanan maupun tahunan.
Penerapan regulasi baru ini memberikan dampak signifikan, baik bagi pemberi kerja maupun karyawan. Sebagai contoh, pekerja tetap dengan penghasilan setahun di bawah PTKP tidak dikenakan PPh 21, sementara pekerja dengan penghasilan bruto lebih tinggi akan dikenakan tarif pajak progresif sesuai lapisan tarif Pasal 17.
Selain itu, regulasi ini juga mengatur lebih rinci bagaimana status PTKP (termasuk status keluarga seperti anak angkat) memengaruhi besaran penghasilan tidak kena pajak. Dengan dasar hukum yang jelas, termasuk Peraturan Menteri Keuangan dan peraturan direktur jenderal pajak terbaru, sistem ini diharapkan memberikan kemudahan dan meningkatkan kepatuhan perpajakan.
Perubahan skema PPh Pasal 21 yang berlaku mulai tahun 2024 didasarkan pada sejumlah regulasi penting yang dirancang untuk menyederhanakan perhitungan pajak. Regulasi ini mengakomodasi skema baru, yaitu Tarif Efektif Rata-rata (TER), yang memberikan kemudahan bagi pemberi kerja dan wajib pajak orang pribadi. Dengan penerapan ini, pemotongan pajak penghasilan dapat dilakukan lebih praktis, baik secara bulanan maupun setahun penuh.
Dasar hukum utama dari perubahan ini meliputi:
Regulasi ini tidak hanya memperkuat kepastian hukum, tetapi juga menyederhanakan administrasi perpajakan. Dengan adanya aturan ini, baik pemberi kerja maupun karyawan dapat memenuhi kewajiban perpajakan tanpa kebingungan, sekaligus memastikan pemotongan pajak dilakukan secara transparan.
Penerapan skema TER dilatarbelakangi oleh kebutuhan untuk menyederhanakan perhitungan pajak yang sebelumnya dianggap rumit. Pada skema lama, pemberi kerja harus memperhitungkan berbagai komponen seperti biaya jabatan, PTKP, dan iuran pensiun, yang sering kali memicu kesalahan perhitungan. Dalam banyak kasus, penghasilan bruto yang dipotong PPh sering kali menimbulkan kebingungan bagi karyawan.
Skema TER dirancang untuk mengurangi kerumitan tersebut dengan memberikan kepastian jumlah pajak yang dipotong setiap bulan atau hari.
Tujuan Utama Penerapan TER:
Dampak Skema TER:
Selain itu, skema TER tetap mempertimbangkan komponen pengurang seperti biaya jabatan, iuran pensiun, dan status PTKP (termasuk tanggungan anak kandung maupun anak angkat) pada masa pajak terakhir (Desember). Dengan regulasi ini, pemerintah berharap proses perpajakan menjadi lebih mudah, akurat, dan transparan.
Seiring dengan berlakunya Peraturan Menteri Keuangan (PMK) No. 168 Tahun 2023, terdapat perubahan signifikan dalam skema perhitungan Pajak Penghasilan Pasal 21 (PPh 21) untuk berbagai kategori wajib pajak, termasuk pegawai tetap dan tidak tetap. Penyesuaian ini dirancang untuk menyederhanakan proses perhitungan dan memastikan kepatuhan terhadap peraturan terbaru.
Perubahan pengaturan pajak difokuskan pada penyederhanaan perhitungan PPh 21 bulanan dan tahunan. Beberapa poin penting yang menjadi dasar pengaturan baru ini adalah:
Penyesuaian ini berlaku mulai 1 Januari 2024, sebagaimana diatur dalam PMK No. 168 Tahun 2023, untuk menciptakan sistem perpajakan yang lebih mudah dipahami dan diterapkan oleh pemberi kerja serta karyawan.
Berikut adalah perubahan skema penghitungan untuk pegawai tetap:
Perubahan pada pegawai tidak tetap mencakup penghasilan berdasarkan hari, minggu, satuan, atau borongan. Skema baru ini memperkenalkan tarif yang lebih rinci:
Dengan berlakunya peraturan terbaru, tarif pemotongan Pajak Penghasilan Pasal 21 kini disesuaikan dengan kategori Penghasilan Tidak Kena Pajak (PTKP) dan menggunakan skema tarif efektif. Skema ini dirancang untuk memastikan bahwa setiap wajib pajak membayar pajak sesuai dengan kondisi penghasilannya, baik harian maupun bulanan.
Tarif efektif bulanan ditentukan berdasarkan kategori PTKP, yang terbagi menjadi:
Penghasilan Bruto Bulanan (Rp) |
Tarif Efektif Bulanan |
≤ Rp5.400.000 |
0% |
Rp5.400.000 – Rp5.650.000 |
0,25% |
Rp5.650.000 – Rp5.950.000 |
0,5% |
Rp5.950.000 – Rp6.300.000 |
0,75% |
Rp6.300.000 – Rp6.750.000 |
1% |
... |
... |
> Rp1.400.000.000 |
34% |
Keterangan:
Penghasilan Bruto Bulanan (Rp) |
Tarif Efektif Bulanan |
≤ Rp6.200.000 |
0% |
Rp6.200.000 – Rp6.500.000 |
0,25% |
Rp6.500.000 – Rp6.850.000 |
0,5% |
Rp6.850.000 – Rp7.300.000 |
0,75% |
Rp7.300.000 – Rp9.200.000 |
1% |
... |
... |
> Rp1.405.000.000 |
34% |
Penghasilan Bruto Bulanan (Rp) |
Tarif Efektif Bulanan |
≤ Rp6.600.000 |
0% |
Rp6.600.000 – Rp6.950.000 |
0,25% |
Rp6.950.000 – Rp7.350.000 |
0,5% |
Rp7.350.000 – Rp7.800.000 |
0,75% |
Rp7.800.000 – Rp8.850.000 |
1% |
... |
... |
> Rp1.419.000.000 |
34% |
Tarif harian berlaku untuk wajib pajak yang menerima penghasilan berdasarkan jumlah hari kerja atau borongan. Berikut rincian tarifnya:
Penghasilan Harian (Rp) |
Tarif Efektif Harian |
≤ Rp450.000 |
0% |
Rp450.001 – Rp2.500.000 |
0,5% |
> Rp2.500.000 |
Tarif Progresif (Pasal 17) |
Keterangan:
Menghitung Pajak Penghasilan Pasal 21 (PPh 21) dilakukan melalui beberapa langkah utama. Proses ini dimulai dengan menghitung penghasilan bersih hingga menentukan besarnya pajak yang terutang, dengan memperhatikan penghasilan tahunan.
Langkah pertama dalam proses ini adalah menghitung penghasilan bersih, yaitu total penghasilan setelah dikurangi komponen pengurang seperti biaya jabatan dan iuran pensiun. Simak penjelasan lengkapnya di bawah ini!
Penghasilan bersih dihitung dari penghasilan bruto tahunan, dikurangi komponen pengurang yang diizinkan oleh peraturan.
Penghasilan bruto mencakup:
Komponen pengurang terdiri dari:
Sebagai ilustrasi, karyawan dengan penghasilan bruto Rp10.000.000 per bulan memiliki penghasilan bruto tahunan Rp120.000.000. Setelah dikurangi biaya jabatan sebesar Rp6.000.000 dan iuran pensiun sebesar Rp2.400.000, penghasilan bersihnya menjadi Rp111.600.000 per tahun.
PTKP adalah batas minimum penghasilan yang tidak dikenakan pajak. Setiap karyawan memiliki PTKP yang bergantung pada status pernikahan dan jumlah tanggungan.
Rincian PTKP:
Misalnya, seorang karyawan dengan status TK/0 tanpa tanggungan memiliki PTKP sebesar Rp54.000.000 per tahun. Jika karyawan memiliki tiga tanggungan, PTKP meningkat menjadi Rp67.500.000.
PKP diperoleh dengan mengurangi penghasilan bersih dengan PTKP. Nilai PKP inilah yang akan menjadi dasar perhitungan pajak.
Rumus PKP:
PKP = Penghasilan bersih - PTKP.
Jika karyawan memiliki penghasilan bersih sebesar Rp111.600.000 per tahun dan PTKP sebesar Rp54.000.000, maka PKP-nya adalah Rp57.600.000. Nilai ini dibulatkan ke bawah dalam kelipatan Rp1.000.000, sehingga menjadi Rp57.000.000.
Pajak Penghasilan dihitung berdasarkan tarif pajak progresif yang telah ditetapkan oleh Undang-Undang Pajak Penghasilan.
Tarif pajak progresif:
Dengan PKP Rp57.000.000, karyawan tersebut masuk ke dalam lapisan pertama tarif progresif, sehingga PPh tahunan adalah Rp57.000.000 x 5% = Rp2.850.000. Pajak ini dapat dibagi menjadi 12 bulan, menghasilkan PPh bulanan sebesar Rp237.500.
Menghitung Pajak Penghasilan Pasal 21 (PPh 21) membutuhkan pemahaman yang baik terhadap berbagai situasi penghasilan dan status pekerjaan. Proses ini melibatkan identifikasi penghasilan bruto, pengurangan biaya tertentu, hingga penerapan tarif pajak progresif.
Pada bagian ini, kami akan memberikan contoh perhitungan PPh 21 berdasarkan tiga situasi umum: pegawai tetap dengan penghasilan di bawah Rp60 juta, pegawai tidak tetap dengan penghasilan di atas Rp60 juta, dan pekerja lepas. Contoh-contoh ini bertujuan membantu Anda memahami cara menghitung pajak sesuai kondisi spesifik.
Pak Budi adalah seorang pegawai tetap di PT Sejahtera Jaya dengan status lajang tanpa tanggungan (TK/0). Ia menerima gaji sebesar Rp4.500.000 per bulan. Berikut adalah langkah perhitungan pajaknya:
Ibu Siti bekerja sebagai pegawai tidak tetap di PT Maju Mundur. Ia memiliki status menikah tanpa anak (K/0) dan menerima penghasilan sebesar Rp8.000.000 per bulan. Berikut cara menghitung pajaknya:
Jadi, Ibu Siti harus membayar pajak sebesar Rp136.250 setiap bulan.
Pak Andi adalah seorang pekerja lepas yang menerima penghasilan Rp12.000.000 dari proyek desain. Sebagai pekerja lepas, ia dikenakan pemotongan pajak sebesar 50% dari penghasilan bruto. Berikut perhitungannya:
Pak Andi perlu membayar pajak sebesar Rp300.000 untuk proyek tersebut.
Menghitung Pajak Penghasilan Pasal 21 (PPh 21) adalah langkah penting untuk memenuhi kewajiban perpajakan sekaligus menjaga keuangan tetap efisien. Artikel ini menunjukkan bahwa setiap kategori pekerjaan—pegawai tetap, tidak tetap, atau pekerja lepas—memiliki metode perhitungan yang berbeda.
Memahami detail ini, termasuk pengurangan biaya jabatan, PTKP, dan penerapan tarif progresif, membantu memastikan akurasi perhitungan dan kepatuhan terhadap regulasi.
Lebih dari sekadar kewajiban, pemahaman mekanisme PPh 21 memberi manfaat strategis. Wajib pajak individu dapat merencanakan keuangan secara lebih baik, sementara pemberi kerja dapat mengelola sistem penggajian sesuai aturan, mengurangi risiko sanksi pajak. Selain itu, pemanfaatan kebijakan perpajakan seperti PTKP juga menjadi peluang untuk mengoptimalkan hak pajak.
Pada akhirnya, PPh 21 bukan hanya alat administrasi, tetapi juga sarana meningkatkan literasi keuangan dan menciptakan ekosistem perpajakan yang lebih adil.
PPh 21 adalah Pajak Penghasilan Pasal 21 yang dikenakan pada penghasilan yang diterima wajib pajak orang pribadi dalam negeri, sehubungan dengan pekerjaan, jabatan, jasa, atau kegiatan tertentu. Pajak ini merupakan bentuk pemotongan pajak penghasilan atas penghasilan bruto yang dilakukan oleh pemberi kerja atau pihak lain.
PPh 21 biasanya ditanggung oleh penerima penghasilan (pegawai), namun ada skema tertentu seperti Gross-Up atau Net, di mana pajak dapat ditanggung sebagian atau sepenuhnya oleh pemberi kerja. Hal ini tergantung pada kebijakan perusahaan terkait tunjangan pajak. Untuk pekerja lepas atau freelancer, PPh 21 terutang dihitung berdasarkan 50% dari penghasilan bruto yang dikenakan tarif sesuai Pasal 17.
PPh Pasal 21 dikenakan jika penghasilan bruto karyawan dalam setahun melebihi Penghasilan Tidak Kena Pajak (PTKP). Berdasarkan peraturan terbaru, PTKP untuk wajib pajak orang pribadi adalah Rp54 juta setahun atau sekitar Rp4,5 juta per bulan. Artinya, jika gaji bulanan Anda di bawah Rp4,5 juta, maka Anda tidak dikenakan PPh 21.